Pengertian Tanggungjawab
Tanggungjawab menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah keadaan
wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga tanggungjawab dapat
dipahami sebagai kewajiban menanggung, memikul jawab, dan menanggung
segala sesuatunya. Bertanggungjawab berarti dapat menjawab bila ditanya
tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Orang yang bertaggung jawab
dapat diminta penjelasan tentang tingkah lakunya dan bukan saja ia bisa
menjawab melainkan juga harus menjawab.
Dalam pengertian kamus Bahasa Inggris, tanggung jawab itu diterjemahkan
dengan kata: “Responsibility = having the character of a free moral
agent; capable of determining one’s own acts; capable of deterred by
consideration of sanction or consequences”. Definisi ini memberikan
pengertian yang dititiberatkan pada: 1) harus ada kesanggupan untuk
menetapkan sikap terhadap sesuatu perbuatan, dan 2) harus ada
kesanggupan untuk memikul resiko dari sesuatu perbuatan.
Bila pengertian diatas dianalisis lebih luas, akan kita dapati bahwa
dalam kata; “Having the character’ itu dituntut sebagai suatu keharusan,
akan adanya pertanggungan moral/karakter. Karakter di sini merupakan
suatu nilai-nilai dari perbuatan. Konsekuensi selanjutnya berarti bahwa
terhadap sesuatu perbuatan hanya terdapat dua alternative penilaian
yaitu: tahu bertanggung jawab atau tidak tahu bertanggung jawab.
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak sengaja. Tanggung jawab
juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban. Misal,
seorang mahasiswa mempunyai kewajiban belajar. Bila belajar, maka hal
itu berarti ia telah memenuhi kewajibanya. Berarti pula ia telah
bertanggung jawab atas kewajibannya. Sudah tentu bagaimana kegiatan
belajar si mahasiswa. Itulah kadar petanggung jawabannya. Bila pada
ujian mendapat nilai A, B atau C itulah kadar pertanggung jawabannya.
Bila si mahasiswa malas belajar, dan dia sadar akan hal itu. Tetapi ia
tetap tidak mau belajar dengan alasan cape, segan, dan lain-lain.
Padahal ia menghadapi ujian. Ini berarti bahwa si mahasiswa tidak
memenuhi kewajibannya, berarti pula ia tidak bertanggung jawab.
Rabu, 03 Juli 2013
JENIS-JENIS TANGGUNG JAWAB
1. Tanggungjawab Dilihat dari Sifatnya
Tanggungjawab itu bisa langsung atau tidak langsung. Tanggung jawab bersifat langsung, bila si pelaku sendiri bertanggung jawab atas perbuatannya. Biasanya akan terjadi demikian. Tetapi kadang-kadang orang bertanggung jawab secara tidak langsung . contohnya, kalau anjing saya merusakkan barang milik orang lain, bukanlah anjing yang bertanggung jawab (sebab seekor anjing bukan makhluk bebas), melainkan saya sebagai pemiliknya. Sekurang-kurangnya bila kejadian itu berlangsung di tempat umum. Jadi, di sini saya bertanggung jawab secara tidak langsung. Sebab saya harus mengawasi gerak-gerik anjing saya di tempat umum. Tapi kalau seandainya orang masuk halaman rumah saya tanpa izin dengan maksud mencuri atau maksud apapun juga dan digigit oleh anjing saya, maka saya tidak bertanggung jawab, karena orang itu tidak berhak masuk halaman rumah tanpa seizin tuan rumah.
Demikian halnya juga dengan anak kecil, bila anak kecil melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, orang tua atau walinya bertanggung jawab atas kejadian itu, karena anak itu sendiri belum bisa dianggap pelaku bebas. Secara tidak langsung orang tua atau walinya bertanggungjawab, sebab mereka harus mengawasi anaknya.
2. Tanggungjawab Dilihat dari Subyeknya
Tanggungjawab bila dilihat dari segi subyeknya terbagi menjadi dua bagian, yaitu: a) tanggungjawab pribadi atau perorangan, artinya, tanggungjawab seseorang atas perbuatannya. b) Tanggungjawab kolektif atau kelompok Tetapi, jenis tanggungjawab ini dalam etika sering kali diajukan pertanyaan apakah ada tanggungjawab kolektif atau kelompok. Pertanyaan ini dijawab dengan cara berbeda-beda. Beberapa etikawan menerima kemungkinan tanggung jawab kolektif, tapi lebih banyak menolaknya. Kadang-kadang kita mendapat kesan bahwa memang ada tanggung jawab kolektif.
Tanggung jawab tidak dimaksudkan penjumlahan tanggung jawab beberapa individu. Bukan maksudnya bahwa orang A bertanggung jawab di samping orang B, C, dan D. sebab, tanggung jawab seperti itu hanya merupakan struktur lebih kompleks dari tanggung jawab pribadi dan tidak menimbulkan kesulitan khusus. Juga tidak dimaksudkan bahwa dalam suatu kelompok beberapa orang bertanggung jawab untuk sebagian, seperti misalnya dalam sebuah geng penjahat ada yang merencanakan, ada yang membantu dan ada yang melaksanakan tindak kejahatan. Juga tidak dimaksudkan bahwa banyak tindakan pribadi kita mempunyai dampak sosial. Hal itu tidak mengherankan, sebab akibat kodrat social manusia perbuatan – perbuatan pribadi kita dengan banyak cara terjalin dengan kepentingan orang lain, bahkan dengan masyarakat sebagai keseluruhan. Yang dimaksudkan dengan tanggung jawab kolektif ialah bahwa orang A, B, C, dan D dan seterusnya, secara pribadi tidak bertanggung jawab, sedangkan mereka semua bertanggung jawab sebagai kelompok atau keseluruhan.
Tanggungjawab itu bisa langsung atau tidak langsung. Tanggung jawab bersifat langsung, bila si pelaku sendiri bertanggung jawab atas perbuatannya. Biasanya akan terjadi demikian. Tetapi kadang-kadang orang bertanggung jawab secara tidak langsung . contohnya, kalau anjing saya merusakkan barang milik orang lain, bukanlah anjing yang bertanggung jawab (sebab seekor anjing bukan makhluk bebas), melainkan saya sebagai pemiliknya. Sekurang-kurangnya bila kejadian itu berlangsung di tempat umum. Jadi, di sini saya bertanggung jawab secara tidak langsung. Sebab saya harus mengawasi gerak-gerik anjing saya di tempat umum. Tapi kalau seandainya orang masuk halaman rumah saya tanpa izin dengan maksud mencuri atau maksud apapun juga dan digigit oleh anjing saya, maka saya tidak bertanggung jawab, karena orang itu tidak berhak masuk halaman rumah tanpa seizin tuan rumah.
Demikian halnya juga dengan anak kecil, bila anak kecil melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, orang tua atau walinya bertanggung jawab atas kejadian itu, karena anak itu sendiri belum bisa dianggap pelaku bebas. Secara tidak langsung orang tua atau walinya bertanggungjawab, sebab mereka harus mengawasi anaknya.
2. Tanggungjawab Dilihat dari Subyeknya
Tanggungjawab bila dilihat dari segi subyeknya terbagi menjadi dua bagian, yaitu: a) tanggungjawab pribadi atau perorangan, artinya, tanggungjawab seseorang atas perbuatannya. b) Tanggungjawab kolektif atau kelompok Tetapi, jenis tanggungjawab ini dalam etika sering kali diajukan pertanyaan apakah ada tanggungjawab kolektif atau kelompok. Pertanyaan ini dijawab dengan cara berbeda-beda. Beberapa etikawan menerima kemungkinan tanggung jawab kolektif, tapi lebih banyak menolaknya. Kadang-kadang kita mendapat kesan bahwa memang ada tanggung jawab kolektif.
Tanggung jawab tidak dimaksudkan penjumlahan tanggung jawab beberapa individu. Bukan maksudnya bahwa orang A bertanggung jawab di samping orang B, C, dan D. sebab, tanggung jawab seperti itu hanya merupakan struktur lebih kompleks dari tanggung jawab pribadi dan tidak menimbulkan kesulitan khusus. Juga tidak dimaksudkan bahwa dalam suatu kelompok beberapa orang bertanggung jawab untuk sebagian, seperti misalnya dalam sebuah geng penjahat ada yang merencanakan, ada yang membantu dan ada yang melaksanakan tindak kejahatan. Juga tidak dimaksudkan bahwa banyak tindakan pribadi kita mempunyai dampak sosial. Hal itu tidak mengherankan, sebab akibat kodrat social manusia perbuatan – perbuatan pribadi kita dengan banyak cara terjalin dengan kepentingan orang lain, bahkan dengan masyarakat sebagai keseluruhan. Yang dimaksudkan dengan tanggung jawab kolektif ialah bahwa orang A, B, C, dan D dan seterusnya, secara pribadi tidak bertanggung jawab, sedangkan mereka semua bertanggung jawab sebagai kelompok atau keseluruhan.
UNSUR-UNSUR TANGGUNG JAWAB
Unsur-unsur Tanggungjawab
Dari segi filsafat, suatu tanggung jawab itu sedikitnya didukung oleh tiga unsur pokok, yaitu : kesadaran, kecintaan/kesukaan, dan keberanian.
1. Kesadaran
Sadar berisi pengertian : tahu, kenal, mengerti dapat memperhitungkan arti, guna sampai kepada soal akibat dari sesuatu perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Seseorang baru dapat diminta tanggung jawab, bila ia sadar tentang apa yang diperbuatnya.
Dengan dasar pengertian ini kiranya dapat dimengerti, apa sebab ketiga golongan (si bocah, si kerbau, dan si gila ) adalah tidak wajar bila diminta atau dituntut supaya bertanggung jawab sebab, baik kepada si bocah, si kerbau, dan si gila, kesemua mereka ini, bertindak tanpa adanya kesadaran, artinya mereka sama sekali tidak mengerti, akan guna dan akibat dari perbuatannya.
2. Kecintaan / Kesukaan
Cinta, suka menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan, dan kesediaan berkorban. Cinta pada tanah air menyebabkan prajurit-prajurit kita rela menyabung nyawa untuk mempertahankan tanah air tercinta. Sadar akan arti tanggungjawablah, menyebabkan mereka patuh berdiri di bawah terik matahari atau hujan lebat untuk mengawal, dilihat atau tidak diawasi.
3. Keberanian
Berani berbuat, berani bertanggungjawab. Berani disini didorong oleh rasa keikhlasan, tidak bersikap ragu-ragu dan takut terhadap segala macam rintangan yang timbul kemudian sebagai konsekueansi dari tindak perbuatan. Karena adanya tanggung jawab itulah, maka seseorang yang berani, juga memerlukan adanya pertimbangan pertimbangan, perhitungan dan kewaspadaan sebelum bertindak, jadi tidak sembrono atau membabi buta.
Keberanian seorang prajurit adalah keberanian yang dilandasi oleh rasa kesadaran, adanya rasa cinta kepada tanah air, dimana ketiga unsur kejiwaan tersebut tersimpul ke dalam satu sikap: “Keikhlasan dalam mengabdi, dan dengan penuh rasa tanggung jawab“, dalam menunaikan tugas dan darma bakti kepada negara dan bangsa.
Dari segi filsafat, suatu tanggung jawab itu sedikitnya didukung oleh tiga unsur pokok, yaitu : kesadaran, kecintaan/kesukaan, dan keberanian.
1. Kesadaran
Sadar berisi pengertian : tahu, kenal, mengerti dapat memperhitungkan arti, guna sampai kepada soal akibat dari sesuatu perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Seseorang baru dapat diminta tanggung jawab, bila ia sadar tentang apa yang diperbuatnya.
Dengan dasar pengertian ini kiranya dapat dimengerti, apa sebab ketiga golongan (si bocah, si kerbau, dan si gila ) adalah tidak wajar bila diminta atau dituntut supaya bertanggung jawab sebab, baik kepada si bocah, si kerbau, dan si gila, kesemua mereka ini, bertindak tanpa adanya kesadaran, artinya mereka sama sekali tidak mengerti, akan guna dan akibat dari perbuatannya.
2. Kecintaan / Kesukaan
Cinta, suka menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan, dan kesediaan berkorban. Cinta pada tanah air menyebabkan prajurit-prajurit kita rela menyabung nyawa untuk mempertahankan tanah air tercinta. Sadar akan arti tanggungjawablah, menyebabkan mereka patuh berdiri di bawah terik matahari atau hujan lebat untuk mengawal, dilihat atau tidak diawasi.
3. Keberanian
Berani berbuat, berani bertanggungjawab. Berani disini didorong oleh rasa keikhlasan, tidak bersikap ragu-ragu dan takut terhadap segala macam rintangan yang timbul kemudian sebagai konsekueansi dari tindak perbuatan. Karena adanya tanggung jawab itulah, maka seseorang yang berani, juga memerlukan adanya pertimbangan pertimbangan, perhitungan dan kewaspadaan sebelum bertindak, jadi tidak sembrono atau membabi buta.
Keberanian seorang prajurit adalah keberanian yang dilandasi oleh rasa kesadaran, adanya rasa cinta kepada tanah air, dimana ketiga unsur kejiwaan tersebut tersimpul ke dalam satu sikap: “Keikhlasan dalam mengabdi, dan dengan penuh rasa tanggung jawab“, dalam menunaikan tugas dan darma bakti kepada negara dan bangsa.
SARAT BAGI TANGGUNG JAWAB MORAL DALAM ETIKA PROFESI
Syarat bagi Tanggung Jawab Moral dalam Etika Profesi
Dalam membahas prinsip-prinsip etika profesi dan prinsip-prinsip etika bisnis. Kita telah menyinggung tanggung jawab sebagai salah satu prinsip etika yang penting. Persoalan pelik yang harus dijawab pada tempat pertama adalah manakah kondisi bagi adanya tanggung jawab moral. Manakah kondisi yang relevan yang memungkinkan kita menuntut agar seseoarang bertanggung jawab atas tindakannya. Ini sangat penting, karena tidak sering kita menemukan orang yang mengatakan bahwa tindakan itu bukan tanggung jawabku. Atau, kita pun sering mengatakan bahwa suatu tindakan sudah berada di luar tanggung jawab seseorang. Lalu, manakah batas, manakah kondisi atau syarat sah bagi tanggung jawab moral ini?
Paling kurang ada tiga syarat penting bagi tanggung jawab moral. Pertama, tanggung jawab mengandaikan bahwa suatu tindakan dilakukan dengan sadar dan tahu. Tanggung jawab hanya bisa dituntut dari seseorang kalau ia bertindak dengan sadar dan tahu mengenai tindakannya itu serta konsekuensi dari tindakannya. Hanya kalau seseorang bertindak dengan sadar dan tahu, baru relevan bagi kita untuk menuntut tanggung jawab dan pertanggungjawaban moral atas tindakakannya itu.
Dengan demikian, syarat pertama bagi tanggung jawab atas suatu tindakan adalah bahwa tindakan itu dijalankan oleh pribadi yang rasional. Pribadi yang kemanapun akal budinya sudah matang dan dapat berfungsi secara normal. Pribadi itu paham betul akan apa yang dilakukannya.
Kedua, tanggung jawab mengandaikan adanya kebebasan pada tempat pertama. Artinya, tanggung jawab hanya mungkin relevan dan dituntut dari seseorang atas tindakannya, kalau tindakannya itu dilakukannya secara bebas. Ini berarti orang tersebut melakukan tindakan itu bukan dalam keadaan terpaksa atau dipaksa. Ia sendiri secara bebas dan suka rela melakukan tindakan itu. Jadi, kalau seseorang terpaksa atau dipaksa melakukan suatu tindakan, secara moral ia dituntut bertanggung jawab atas tindakan itu. Karena itu, tidak relevan bagi kita untuk menuntut pertanggungjawaban moral atas tindakannya itu. Tindakan tersebut berada di luar tanggung jawabnya. Hanya orang yang bebas dalam melakukan sesuatu bisa bertanggung jawab atas tindakaknya.
Ketiga, tanggung jawab mensyaratkan bahwa orang yng melakukan tindakan tertentu memang mau melakukan tindakan itu. Ia sendiri mau dan bersedia melakukan tindakan itu. Syarat ini terutama relevan dalam kaitan dengan syarat kedua di atas. Bisa saja seseorang berada dalam situasi tertentu sedemikian rupa seakan-akan ia terpaksa melakukan suatu tindakan. Situasi ini terutama terjadi ketika seseorang dihadapkan hanya pada satu pulihan. Hanya ada satu alternative. Terlihat seakan-akan di hanya bisa memilih alternative itu. Lain tidak, bahkan dia tidak bisa memilih alternative tersebut. Dalam keadaan seperti itu, tampak seolah-olah orang ini memang terpaksa. Itu berarti menurut syarat kedua di atas, dia tidak bisa bertanggung jawab atas pilihannya karena tidak bisa lain. Karena itu, tidak relevan untuk menuntut pertanggungjawaban dari orang itu.
Akan tetapi, kalaupun orang tersebut berada dalam situasi seperti itu, di mana di tidak bisa berbuat lain dari memilih alternative yang hanya satu itu, ia masu\ih tetap bisa dituntut untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Ia masih tetapbertanggung jawab atas tindakannya kalau dalam situasi seperti itu ia sendiri mau (apalagi dengan sadar dan bebas ) memilih alternative yang hanya satu itu dan tidak bisa dielak itu.
Sehubungan dengan tanggung jawab moral, berlakku prinsip yang disebut the principle of alternate possibilities. Menurut prinsip ini, seseorang bertanggung jawab secara moral atas tindakannya yang telah dilakukannya hanya kalau ia bisa bertindak secara lain. Artinya, hanya kalau masih ada alternative baginya untuk bertindak secara lain, yang tidak lain berarti ia tidak dalam keadaan terpaksa melakukan tindakan itu.
Menurut Harry Frankfurt, prinsip ini tidak sepenuhnya benar. Sebabnya, seeseoarang masih bisa tetap bertanggung jawab atas tindakannya kalaupun ia tidak punya kemungkinan lain untu bertindak secara lain. Artinya, kalaupun tindakan itu dilakukan di bawah ancaman sekalipun, misalnya, tapi kalau ia sendiri memang mau melakukan tindakan itu, ia tetap bertanggung jawab atas tindakannya. Dengan kata lain, prinsip bahwa seseorang hanya bisa bertangguung jawab secara moral atas tindakan yang telah dilakukannya kalau ada kemungkinan baginya untuk bertindak secara lain, tidak sepenuhnya benar. Menurut Frankfurt, prinsipyang benar adalah bahwa seseorang tidak bertanggung jawab secara moral atas tindakan yang telah dilakukannya kalau ia melakukannya hanya karena ia tidak bisa bertindak secara lain. Artinya, tidak ada alasan lain kecuali bahwa memang ia terpaksa melakukan itu, dan tidak ada alasan lain selain terpaksa. Namun, selama ia sendiri mau (berarti alasan dari tindakannya adalah kemauannya sendiri dan bukan keadaan terpaksa tersebut), ia tetap bertanggung jawab kendati situasinya seolah-olah ia terpaksa (tidak ada alternative lain).
Dalam membahas prinsip-prinsip etika profesi dan prinsip-prinsip etika bisnis. Kita telah menyinggung tanggung jawab sebagai salah satu prinsip etika yang penting. Persoalan pelik yang harus dijawab pada tempat pertama adalah manakah kondisi bagi adanya tanggung jawab moral. Manakah kondisi yang relevan yang memungkinkan kita menuntut agar seseoarang bertanggung jawab atas tindakannya. Ini sangat penting, karena tidak sering kita menemukan orang yang mengatakan bahwa tindakan itu bukan tanggung jawabku. Atau, kita pun sering mengatakan bahwa suatu tindakan sudah berada di luar tanggung jawab seseorang. Lalu, manakah batas, manakah kondisi atau syarat sah bagi tanggung jawab moral ini?
Paling kurang ada tiga syarat penting bagi tanggung jawab moral. Pertama, tanggung jawab mengandaikan bahwa suatu tindakan dilakukan dengan sadar dan tahu. Tanggung jawab hanya bisa dituntut dari seseorang kalau ia bertindak dengan sadar dan tahu mengenai tindakannya itu serta konsekuensi dari tindakannya. Hanya kalau seseorang bertindak dengan sadar dan tahu, baru relevan bagi kita untuk menuntut tanggung jawab dan pertanggungjawaban moral atas tindakakannya itu.
Dengan demikian, syarat pertama bagi tanggung jawab atas suatu tindakan adalah bahwa tindakan itu dijalankan oleh pribadi yang rasional. Pribadi yang kemanapun akal budinya sudah matang dan dapat berfungsi secara normal. Pribadi itu paham betul akan apa yang dilakukannya.
Kedua, tanggung jawab mengandaikan adanya kebebasan pada tempat pertama. Artinya, tanggung jawab hanya mungkin relevan dan dituntut dari seseorang atas tindakannya, kalau tindakannya itu dilakukannya secara bebas. Ini berarti orang tersebut melakukan tindakan itu bukan dalam keadaan terpaksa atau dipaksa. Ia sendiri secara bebas dan suka rela melakukan tindakan itu. Jadi, kalau seseorang terpaksa atau dipaksa melakukan suatu tindakan, secara moral ia dituntut bertanggung jawab atas tindakan itu. Karena itu, tidak relevan bagi kita untuk menuntut pertanggungjawaban moral atas tindakannya itu. Tindakan tersebut berada di luar tanggung jawabnya. Hanya orang yang bebas dalam melakukan sesuatu bisa bertanggung jawab atas tindakaknya.
Ketiga, tanggung jawab mensyaratkan bahwa orang yng melakukan tindakan tertentu memang mau melakukan tindakan itu. Ia sendiri mau dan bersedia melakukan tindakan itu. Syarat ini terutama relevan dalam kaitan dengan syarat kedua di atas. Bisa saja seseorang berada dalam situasi tertentu sedemikian rupa seakan-akan ia terpaksa melakukan suatu tindakan. Situasi ini terutama terjadi ketika seseorang dihadapkan hanya pada satu pulihan. Hanya ada satu alternative. Terlihat seakan-akan di hanya bisa memilih alternative itu. Lain tidak, bahkan dia tidak bisa memilih alternative tersebut. Dalam keadaan seperti itu, tampak seolah-olah orang ini memang terpaksa. Itu berarti menurut syarat kedua di atas, dia tidak bisa bertanggung jawab atas pilihannya karena tidak bisa lain. Karena itu, tidak relevan untuk menuntut pertanggungjawaban dari orang itu.
Akan tetapi, kalaupun orang tersebut berada dalam situasi seperti itu, di mana di tidak bisa berbuat lain dari memilih alternative yang hanya satu itu, ia masu\ih tetap bisa dituntut untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Ia masih tetapbertanggung jawab atas tindakannya kalau dalam situasi seperti itu ia sendiri mau (apalagi dengan sadar dan bebas ) memilih alternative yang hanya satu itu dan tidak bisa dielak itu.
Sehubungan dengan tanggung jawab moral, berlakku prinsip yang disebut the principle of alternate possibilities. Menurut prinsip ini, seseorang bertanggung jawab secara moral atas tindakannya yang telah dilakukannya hanya kalau ia bisa bertindak secara lain. Artinya, hanya kalau masih ada alternative baginya untuk bertindak secara lain, yang tidak lain berarti ia tidak dalam keadaan terpaksa melakukan tindakan itu.
Menurut Harry Frankfurt, prinsip ini tidak sepenuhnya benar. Sebabnya, seeseoarang masih bisa tetap bertanggung jawab atas tindakannya kalaupun ia tidak punya kemungkinan lain untu bertindak secara lain. Artinya, kalaupun tindakan itu dilakukan di bawah ancaman sekalipun, misalnya, tapi kalau ia sendiri memang mau melakukan tindakan itu, ia tetap bertanggung jawab atas tindakannya. Dengan kata lain, prinsip bahwa seseorang hanya bisa bertangguung jawab secara moral atas tindakan yang telah dilakukannya kalau ada kemungkinan baginya untuk bertindak secara lain, tidak sepenuhnya benar. Menurut Frankfurt, prinsipyang benar adalah bahwa seseorang tidak bertanggung jawab secara moral atas tindakan yang telah dilakukannya kalau ia melakukannya hanya karena ia tidak bisa bertindak secara lain. Artinya, tidak ada alasan lain kecuali bahwa memang ia terpaksa melakukan itu, dan tidak ada alasan lain selain terpaksa. Namun, selama ia sendiri mau (berarti alasan dari tindakannya adalah kemauannya sendiri dan bukan keadaan terpaksa tersebut), ia tetap bertanggung jawab kendati situasinya seolah-olah ia terpaksa (tidak ada alternative lain).
PROFESI,PROFESI HUKUM,dan KODE ETIK PROFESI
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian profesi adalah bidang pekerjaan yang
dilanjdasi pendidikan keahlian tertentu. Menurut Habeyb bahwa profesi adalah
pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencaharian. Menurut Liliana
Tedjosaputro, suatu lapangan kerja dikategorikan sebagai profesi diperlukan :
- Pengetahuan.
- Penerapan Keahlian
- Tanggung jawab social.
- Self Control ( penguasaan diri ).
- Pengakuan oleh masyarakat.
Menurut
Brandels yang dikutip oleh A. Pattern Jr, mengatakan bahwa pekerjaan itu
dikatakan profesi adalah :
- Ciri-ciri pengetahuan.
- Diabdikan untuk kepentingan orang lain.
- Keberhasilan bukan didasarkan pada keuntungan financial.
- Keberhasilan tersebut antara lain menentukan berbagai ketentuan yang merupakan kode etik.
- Ditentukan adanya standar kualifikasi profesi.
Daryl
Koehn mengatakan bahwa kriteria untuk menentukan syarat sebagai profesional ada
lima ciri yang disebut kaum professional yaitu :
- Mendapat izin dari negara untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
- Menjadi anggota organisasi/pelaku-pelaku yang sama-sama, dan/atau saling mendisiplinkan karena melalanggar standar yang telah ditetapkan.
- Memiliki pengetahuan atau kecakapan yang hanya diketahui dan dipahami oleh orang-orang tertentu saja.
- Memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaan mereka dan pekerjaan itu tidak amat dimengerti oleh masyarakat yang lebih luas.
- Secara public dimuka umum mengucapkan janji untuk memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan.
Dalam
Piagam Baturaden yang dihasilkan oleh pertemuan para advokad tanggal 27 Juni
1971 menetapkan unsure-unsur untuk dapat disebut profesion, yaitu :
- Harus ada ilmu ( hukum ) yang diolah didalamnya.
- Mengabdi kepada kepentingan umum, mencari nafkah tidak boleh menjadi tujuan.
- Ada hubungan kepercayaan diantara advokad dengan client.
- Ada kewajiban merahasiakan informasi dari client dan perlindungan dengan hak merahasiakan itu oleh undang-undang.
- Ada immuniteit terhadap penuntutan tentang hak yang dilakukan di dalam tugas pembelaan.
- Ada kode etik dan peradilan kode etik.
- Ada honorarium yang tidak perlu seimbang dengan hasil pekerjaan ( orang tidak mampu harus ditolong tanpa biaya dengan usaha yang sama ).
Budi
Susanto mengatakan bahwa ciri-ciri profesi ada 10 yaitu :
- Suatu bidang yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus menerus dan berkembang dan diperluas.
- Suatu teknis intelektual.
- Penerapan praktis dari teknis intelektual pada urusan praktis.
- Suatu periode jenjang untuk pelatihan dan sertifikasi.
- Beberapa standar dan pernyataan tentang etika yang dapat diselenggarakan.
- Kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri.
- Asosiasi dari anggota-anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang akrab dengan kualitas komunikasi yang tinggi antara anggota.
- Pengakuan sebagai profesi.
- Perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi.
- Hubungan erat dengan profesi itu.
Menurut
Magnis Suseno mengatakan bahwa peofesi itu dibedakan dalam dua jenis yaitu
profesi pada umumnya dan profesi luhur. Profesi pada umumnya terdapat dua
prinsip yang harus ditegakkan yaitu :
- Prinsip agar menjalankan profesinya secara bertanggung jawab.
- Hormat terhadap hak-hak orang lain
Profesi
yang luhur motivasi utamanya adalah untuk memperoleh nafkah dari pekerjaan yang
dilakukannya. Terdapat dua prinsip yang penting, yaitu :
-
Mendahulukan kepentingan orang yang dibantu.
-
Mengabdi pada tuntutan luhur profesi.
Untuk
melaksanakan profesi yang luhur secara baik, dituntut moralitas yang tinggi.
Tiga ciri moralitas yang tinggi, yaitu :
-
berani berbuat dengan tekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi.
-
Sadar akan kewajibannya.
-
Memiliki idealisme yang tinggi.
Profesi
hukum merupakan salah satu dari sekelompok profesi yang lain. Profesi hukum
mempunyai ciri yang tersendiri, karena profesi ini bersentuhan langsung dengan
kepentingan orang lain atau yang biasa disebut “ klien “. Profesi hukum
mempunyai keterkaitan dengan bidang-bidang hukum yang lain yang terdapat dalam negara
Indonesia, misalnya Kehakiman , Kepolisian dan sebagainya. Profesi hukum
merupakan salah satu profesi yang menuntut nilai moral dan pengembangan. Nilai
moral merupakan kekuatan yang mendasari perbuatan luhur. Magnis Suseno
mengemukakan lima criteria nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian
profesi hukum, yaitu :
-
Kejujuran adalah dasar utama. Dua sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu :
sikap terbuka, hal ini berkenaan dengan pelayanan kepada klien, dan sikap
wajar, ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan, tidak otoriter,
tidak sok berkuasa dan sebagainya.
-
Autentik artinya menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan kepribadian yang
sebenarnya. Autentik pribadi profesional antara lain : tidak menyalah gunakan
wewenang, tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat, mendahulukan
kebutuhan klien, berani berinisiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana,
tidak mengisolasikan diri dari pergaulan.
-
Bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya. Dalam profesi hukum yang
dimaksud dengan bertanggung jawab yaitu kesedianan melakukan dengan sebaik
mungkin tugas apa saja yang termasuk dalam lingkup profesi, bertinddak secara
proposional tanpa membedakan perkara.
-
Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh dengan pandangan moral yang
terjadi disekitarnya. Mandiri secara moral artinya tidak dapat dibeli oleh
pendapat mayoritas atau pertimabangan untung rugi.
-
Keberanian moral artinya adalah kesetiaan terhadap hati nurani dan berani untuk
menanggung resiko konflik.
Seseorang
yang menekuni profesi hukum secara baik harus memperhatikan criteria yang telah
dikemukakan oleh Magnis Suseno. Kehidupan manusia dalam melakukan interaksi
sosialnya akan selalu berpatokan pada norma dan tatanan hukum yang berlaku
dalam masyarakat. Manusia memiliki kecenderungan untuk menyimpang dari norma
yang ada karena adanya hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan. Untuk
menghindari adanya penyimpangan dalam menjalankan profesi hukum, maka
dibentuklah suatu norma yang wajib dipatuhi, khususnya profesi hukum. Norma
yang dibentuk oleh suatu peofesi biasanya disebut Etika Profesi, dengan harapan
para professional tunduk dan patuh pada kode etik profesinya. Menurut
Notohamidjojo dalam melaksanakan kewajibannya, professional hukum harus
memiliki :
-
Sikap manusiawi, artinya tidak menanggapi hukum secara formal belaka, melainkan
kebenaran dengan hati nurani.
-
Sikap adil, artinya mencari kelayakan yang sesuai dengan perasaan masyarakat.
-
Sikap patut, artinya mencari pertimbangan untuk menentukan keadilan dalam suatu
perkara.
-
Sikap jujur, artinya menyatakan sesuatu itu benar menurut apa adanya.
Menurut
Surmayano, ada lima masalah yang dihadapi secara serius bagi profesi hukum, yaitu
:
-
Kualitas pengetahuan profesional hukum.
-
Terjadi penyalahgunaan profesional hukum.
-
Kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis.
-
Penurunan kesadaran dan kepedulian social.
-
Kontinuitas system yang sudah usang.
Seorang
professional hukum harus memiliki pengetahuan bidang hukum yang andal, sebagai
penentu bobot kualitas pelayanan hukum secara profesional kepada masyarakat.
Pada
kenyataannya, ditengah-tengah masyarakat masih sering terjadi penyalahgunaan
profesi hukum oleh anggotanya sendiri. Sumaryono mengatakan bahwa
penyalahgunaan dapat terjadi karena adanya persaingan diantara para profesi
hukum atau tidak adanya disiplin diri. Kehadiran profesi hukum bertujuan untuk
memberikan pelayanan atau memberikan bantuan hukum kepada masyarakat, namun
dalam kenyataannya di Indonesia, profesi hukum ada yang bergerak di bidang
pelayanan bisnis. Kesadaran dan kepedulian social merupakan criteria pelayanan
umum profesional hukum. Kepentingan masyarakat lebih diutamakan daripada
kepentingan pribadi. Nilai moral lebih ditojolkan daripada nilai ekonomi.
Profesianal
hukum adalah bagian dari system peradilan yang berperan membantu
menyebarluaskan system yang dianggap ketinggalan zaman dan penegakan hukum yang
dianggap sudah tidak sesuai lagi. Menurut Wawan Setiawan bahwa cirri-ciri
professional dapat dapat dijadikan criteria umum untuk dapat digolongkan
professional dengan mempertahankan hubungan antara etika, norma profesi dan
criteria umum, yaitu :
-
Dasar / basis ilmu pengetahuan dan pengalaman serta ketrampilan yang memadai.
-
Ada lembaga pengajaran, pendidkan dan latihan dengan tanggung jawab kelompok
profesinya.
-
Asosiasi / organisasi profesi yang bersangkutan dan disamping mutlak sebagai
anggota.
-
Ada aturan dan persyaratan untuk masuk dalam kelompok profesi.
-
Mempunyai kode etik.
-
Mempunyai standar proforma.
Wawan
Setiawan mengatakan bahwa seorang professional haruslah memiliki kepribadian
social, yaitu :
-
Bertanggung jawab atas semua tindakannya.
-
Berusaha selalu meningkatkan ilmu pengetahuannya.
-
Menyumbangkan pikiran untuk memajukan kemahiran dan keahlian serta pengetahuan
profesi.
-
Menjunjung tinggi kepercayaan orang lain terhadap dirinya.
-
Menggunakan saluran yang baik dan benar serta legal dan halal untuk menyatakan
ketidak puasannya.
-
Kesediaan bekerja untuk kepentingan asosiasi / organisasinya dan senantiasa
memenuhi kewajiban-kewajiban organisasi profesinya.
-
Mampu bekerja dengan baik dan benar tanpa pengawasan tetap atau terus menerus.
-
Mampu bekerja tanpa pengarahan terinci.
-
Tidak mengorbankan orang / pihak lain demi kemajuan / keuntungan diri pribdainya
semata-mata.
-
Setia pada profesi dan rekan seprofesi.
-
Mampu menghindari desas desus.
-
Merasa bangga pada profesinya.
-
Memiliki motifasi penuh untuk lebih mengutamakan kepentingan masyarakat yang
dilayaninya.
-
Jujur, tahu akan kewajiban dan menghormati hak pihak / orang lain.
-
Segala pengalamanannya senantiasa dianiati dengan niat dan itikat yang baik,
tujuan yang dicapai hanya tujuan yang baik, demikian pula tata cara mancapai
tujuan itu juga dengan cara yang baik.
PENGERTIAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
•Menurut Undang-undang
no. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan
Konsumen :
Pasal 1 butir 2 :
“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan”.
•Menurut Hornby :
“Konsumen
(consumer) adalah seseorang yang
membeli barang atau menggunakan
jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang
membeli barang tertentu atau menggunakan
jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang
menggunakan
suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang
menggunakan
barang atau jasa”.
Langganan:
Komentar (Atom)